Mobilitas mahasiswa internasional telah menjadi fenomena yang berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Terlepas dari pandemi COVID-19, populasi dari mahasiswa internasional meningkat secara drastis dari 800.000 pada tahun 1975 menjadi 4,4 juta pada tahun 2020. Sebagian besar mahasiswa berpartisipasi dalam tren mobilitas ke arah barat yang lazim terjadi, dengan lima negara tujuan teratas yaitu (Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Kanada, dan Australia) menjadi tuan rumah bagi lebih dari 40% mahasiswa. Sementara itu, 58% mahasiswa internasional lainnya berasal dari Asia.
Dalam artikel ini, kami fokus pada mobilitas mahasiswa Asia dan membandingkan kekuatan pendorong dari dua jenis pola: mahasiswa yang memilih universitas di negara lain (mobilitas ke luar Asia) dan di dalam Asia (mobilitas intra-Asia).
Kekuatan pendorong dari mobilitas mahasiswa internasional
Faktor ekonomi, pendidikan, bahasa, geografis, dan teknologi berpengaruh terhadap mobilitas mahasiswa internasional. Secara ekonomi, mahasiswa dari negara-negara dengan perkembangan ekonomi yang lebih rendah, misalnya dengan PDB per kapita yang rendah, sering kali belajar ke luar negeri untuk mengejar prospek karir yang lebih baik. Sementara itu, negara-negara yang memiliki hubungan perdagangan yang lebih dekat dengan negara asal mereka juga lebih disukai, karena lebih banyak peluang kerja yang dapat diharapkan. Mengenai faktor pendidikan, peringkat universitas memiliki dampak pada pilihan siswa. Negara-negara yang memiliki lebih banyak universitas dalam sistem peringkat dunia diyakini memiliki kualitas pendidikan yang lebih tinggi dan dengan demikian lebih disukai oleh siswa internasional.
Selain itu, kedekatan bahasa dan geografis juga memainkan peran penting dalam proses pengambilan keputusan. Di era digital, para pelajar cenderung memilih negara-negara berteknologi maju untuk belajar di luar negeri. Beberapa pemerintah juga mensponsori warga negaranya untuk belajar di negara-negara tersebut dengan beasiswa, dengan tujuan agar mereka memperoleh keterampilan teknis baru dan membawa pengetahuan ini kembali ke negara asalnya.
Apa yang menjadi kekuatan pendorong mobilitas mahasiswa Asia?
Untuk memahami dampak dari faktor-faktor ini terhadap mobilitas mahasiswa Asia, kami menggunakan data sekunder yang besar dari organisasi internasional, termasuk UNESCO, CEPII, Forum Ekonomi Dunia, Bank Dunia, dan Peringkat Akademik Universitas Dunia. Sebagai contoh, kami memperoleh data mengenai mahasiswa internasional dari satu negara ke negara lain dari Institut Statistik UNESCO. Secara keseluruhan, kami menyertakan 74 negara dalam analisis kami. Untuk mobilitas ke luar Asia, kami menganalisis mahasiswa yang berpindah dari 26 negara Asia, seperti Cina dan India, ke 48 negara di wilayah lain. Untuk mobilitas intra-Asia, kami fokus pada mobilitas mahasiswa di antara 26 negara Asia. Kami menggunakan analisis regresi binomial negatif untuk menganalisis data ini, yang memasukkan semua faktor potensial ke dalam sebuah model dan menghitung korelasinya dengan jumlah mahasiswa internasional.
Berdasarkan data ini, mobilitas mahasiswa Asia ke luar negeri sebagian besar didorong oleh faktor penarik dari negara tujuan. Dengan kata lain, teknologi yang maju, perkembangan ekonomi yang lebih baik, bahasa yang digunakan bersama, dan pendidikan yang berkualitas tinggi merupakan daya tarik utama negara tuan rumah bagi pelajar Asia. Sementara itu, jarak geografis tidak menghalangi mahasiswa Asia untuk belajar di negara lain. Bagi para pelajar Asia, kondisi yang menguntungkan di negara tuan rumah menjadi pertimbangan utama mereka.
Di sisi lain, mobilitas intra-Asia sebagian besar didorong oleh faktor pendorong di negara asal. Artinya, kondisi yang tidak menguntungkan, seperti pembangunan ekonomi yang lebih rendah, mendorong siswa untuk menempuh pendidikan tinggi di negara Asia lainnya. Pada tingkat ini, faktor pendidikan dan bahasa memiliki efek yang lebih lemah. Hal ini menyiratkan bahwa kualitas pendidikan dan kesamaan bahasa negara tuan rumah dengan negara asal siswa bukanlah faktor utama yang dipertimbangkan. Sebaliknya, aspek ekonomi adalah kuncinya. Dengan mengantisipasi potensi peluang kerja dan kemajuan karir, siswa lebih cenderung memilih tujuan studi dengan hubungan perdagangan yang kuat dengan negara asal mereka.
Haruskah pemerintah Asia peduli tentang hal ini?
Seperti yang telah dilaporkan di atas, ketika kondisi negara tuan rumah yang menarik menjadi pendorong utama mobilitas ke luar Asia, mobilitas intra-Asia lebih banyak didorong oleh situasi yang kurang menguntungkan di negara asal. Perbedaan-perbedaan ini memperingatkan kita tentang dinamika mobilitas pelajar internasional yang tidak seimbang di Asia.
Pertama, kami menyoroti masalah pengurasan tenaga kerja (brain drain) yang parah di wilayah ini. Untuk negara-negara ASEAN, mahasiswa yang berpartisipasi dalam mobilitas ke luar (93,1%) lebih banyak daripada mahasiswa yang melakukan mobilitas antar negara ASEAN (6,9%). Selain itu, negara-negara Asia merupakan sumber utama mahasiswa internasional di banyak negara Eropa. Seperti yang dilaporkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), 59% dan 41% mahasiswa internasional di Inggris dan Jerman berasal dari Asia. Ketika sebagian besar mahasiswa asia belajar di negara-negara Barat, Asia menghadapi krisis pengurasan sumber daya manusia.
Selain itu, mobilitas intra-Asia juga mencerminkan pola yang sangat tidak seimbang. Pusat-pusat pendidikan regional menjadi pilihan utama bagi para pelajar di Asia, seperti Cina, Korea, dan Jepang. Berdasarkan data terbaru dari Japan Student Services Organisation (JASSO), Jepang menjadi tuan rumah bagi 242.444 pelajar internasional pada tahun 2021, dengan lebih dari 90% berasal dari negara-negara Asia lainnya. Di Korea, mahasiswa Asia mencakup hampir 95% dari mahasiswa internasional yang masuk. Sementara itu, untuk mahasiswa yang pindah antar negara ASEAN, lebih dari 80% dari mereka memilih Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Dalam situasi ini, sejauh mana negara mendapatkan keuntungan dari mobilitas intra-Asia sangat berbeda, karena mahasiswa sangat terkonsentrasi di beberapa negara tujuan.
Jalan ke depan!
Dengan mempertimbangkan pengamatan ini, kami berpendapat bahwa meskipun terdapat perbedaan dalam katalisator pergerakan mahasiswa Asia ke luar dan ke dalam Asia, kesenjangan dalam pola relokasi mahasiswa internasional tetap konsisten. Para pelajar umumnya bergerak ke negara-negara yang secara ekonomi lebih menguntungkan dan memiliki teknologi yang lebih maju dengan sistem pendidikan tinggi yang mapan. Oleh karena itu, ada dua saran yang dapat diberikan kepada pemerintah dan pembuat kebijakan di Asia. Pertama, karena mobilitas intra-Asia utamanya didorong oleh kondisi yang tidak menguntungkan di negara asal, pemerintah Asia dan asosiasi regional, misalnya ASEAN, harus mempertimbangkan ketidakseimbangan ini ketika mengembangkan kebijakan pendidikan tinggi regional. Sebagai contoh, asosiasi dapat menyediakan beasiswa untuk mendorong mobilitas 'horizontal' dan beragam dalam Asia. Dengan cara ini, negara-negara dapat memperoleh manfaat dari skema regional secara lebih merata. Kedua, sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara keseluruhan dan memastikan adanya peluang di suatu wilayah dalam rangka mempertahankan talenta lokal dan mengurangi masalah pengurasan tenaga kerja (brain drain). Hal ini tidak hanya dapat mengurangi kesenjangan antar negara tetapi juga meningkatkan daya tarik pendidikan tinggi di Asia bagi talenta global.
π¬π§«π§ͺππ€π©βπ¬π¦ ππ
Referensi jurnal
Huang, Y. H. I., Wu, C. T., Guo, C. Y., & Kang, J. L. (2023). Diversified patterns and future prospects of international student mobility: a multi-level analysis from global and Asian perspectives. Higher Education Research & Development, 1-16. https://doi.org/10.1080/07294360.2023.2174083