Apakah otoritarianisme sayap kanan berhubungan dengan berita komersial, dan apakah kontak antarkelompok mengurangi kecenderungan otoriter?
////

Otoritarianisme media dan persepsi ancaman terhadap migran

Apakah otoritarianisme sayap kanan berhubungan dengan berita komersial, dan apakah kontak antarkelompok mengurangi kecenderungan otoriter?

641 terbaca

Artikel ini ditulis oleh penulis pihak ketiga yang tidak terkait dengan The Academic. Artikel ini tidak mencerminkan pendapat editor atau manajemen The Academic, dan semata-mata mencerminkan pendapat penulis artikel.

Krisis migrasi Eropa, yang berlangsung dari tahun 2014 hingga 2016, memiliki dampak yang signifikan bagi para pembuat kebijakan, profesional media, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat umum. Selama periode ini, media berita memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik tentang migrasi massal, yang sangat menyimpang dari norma-norma historis. Hubungan antara pemberitaan media dan sikap serta reaksi masyarakat terhadap migrasi menjadi semakin jelas pada tahun-tahun berikutnya.

Di berbagai negara Eropa, warga negaranya mengembangkan sentimen otoriter sayap kanan dan menumbuhkan pandangan yang lebih negatif terhadap para pengungsi. Para tokoh dan partai politik memanfaatkan perasaan ini untuk mendapatkan dukungan elektoral dengan menggambarkan para migran sebagai orang-orang yang tidak layak mendapatkan bantuan atau lebih rendah dari penduduk asli Eropa. Para politisi ini sering kali beralih ke media sosial untuk menjangkau audiens mereka, karena menganggap media tradisional bias terhadap mereka. Meskipun demikian, media berita tradisional tetap mempertahankan kredibilitasnya karena platform media sosial ditanggapi dengan skeptisisme publik yang lebih besar.

Untuk mendapatkan wawasan yang lebih dalam mengenai meningkatnya prevalensi otoritarianisme (sayap kanan) di Eropa, para peneliti berkonsentrasi pada dua konstruksi penting: otoritarianisme sayap kanan (RWA) dan orientasi dominasi sosial (SDO). ATMR mencerminkan keyakinan konvensional tentang benar dan salah, penghormatan terhadap otoritas, dan permusuhan terhadap non-konformis. SDO berfokus pada penerimaan dan preferensi terhadap ketidaksetaraan dan hirarki sosial. 

Penelitian ini, yang diterbitkan dalam Mass Communication and Society Journal, menyelidiki kemungkinan hubungan antara konsumsi media berita dan berkembangnya perasaan otoriter dan, yang lebih signifikan, ancaman yang dirasakan dari imigran. Untuk mencapai hal ini, penelitian ini mengumpulkan data survei dari 10.599 orang dewasa di tujuh negara Eropa pada tahun 2021. Memahami interaksi dinamis antara penggunaan media berita dan perasaan otoriter dapat memberikan wawasan yang berharga untuk mengatasi meningkatnya otoritarianisme di Eropa dan mengurangi potensi implikasinya terhadap keharmonisan sosial dan hubungan antarkelompok.

Satu media berita tidak sama dengan media berita lainnya

Media massa menggambarkan para pengungsi dengan cara yang beragam, tergantung pada sifat media tersebut, apakah itu jaringan layanan publik, surat kabar berkualitas (umumnya dikenal sebagai lembar lebar), jaringan komersial, atau surat kabar populer (umumnya disebut sebagai tabloid). Jaringan layanan publik dan surat kabar berkualitas umumnya menampilkan para migran secara lebih positif, dengan menekankan pada sisi viktimisasi mereka dan berfokus pada aspek kemanusiaan dari kisah-kisah mereka.

Masing-masing media mengadopsi pendekatannya sendiri, sehingga menghasilkan sudut pandang yang berbeda-beda mengenai para migran dan pengalaman mereka. Mereka bertujuan untuk menyoroti tantangan dan ketahanan para pengungsi. Sebaliknya, jaringan komersial dan surat kabar populer sering kali menggunakan bingkai sensasional yang menonjolkan ancaman ekonomi dan keamanan yang ditimbulkan oleh para migran, sehingga mengarah pada pemberitaan yang lebih negatif. Memahami praktik-praktik pembingkaian ini sangat penting karena praktik-praktik ini secara signifikan mempengaruhi bagaimana orang memandang imigran dan tingkat ancaman yang mereka kaitkan dengan imigran.

Sebagai contoh, surat kabar populer sering memprioritaskan isu-isu seperti persaingan pasar tenaga kerja dan pengeluaran kesejahteraan yang terkait dengan migran, yang mengarah pada meningkatnya kekhawatiran di antara para pembaca. Sebaliknya, surat kabar berkualitas menyoroti nilai ekonomi dan budaya yang dibawa oleh para migran kepada masyarakat, dengan menekankan kontribusi positif mereka. Praktik-praktik pembingkaian yang berbeda ini memainkan peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap imigran.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa bagaimana cara media meliput migran sangat penting dalam mempengaruhi penilaian warga negara di Uni Eropa mengenai migrasi. Ketika media menampilkan gambaran imigran yang mengancam, hal ini dapat berdampak besar pada penonton. Penelitian kami memperkuat temuan ini: individu yang menonton berita di jaringan publik atau membaca surat kabar berkualitas cenderung merasakan tingkat ancaman yang lebih rendah, sementara mereka yang mengandalkan jaringan komersial untuk mendapatkan berita menunjukkan hubungan yang berlawanan.

Apakah otoritarianisme sayap kanan berhubungan dengan berita komersial, dan apakah kontak antarkelompok mengurangi kecenderungan otoriter?
Kredit. Midjourney

Media dan pola pikir otoriter

Penelitian ini mengeksplorasi hubungan yang rumit antara konsumsi media dan perkembangan perasaan otoriter. Temuan penelitian mengungkapkan adanya hubungan antara mengkonsumsi berita dari jaringan televisi komersial dan surat kabar populer dengan kecenderungan yang lebih besar terhadap otoritarianisme sayap kanan (RWA). Media-media tersebut seringkali menampilkan pandangan yang lebih negatif terhadap imigrasi, yang sejalan dengan individu-individu yang condong ke arah keyakinan otoriter. Di sisi lain, mengkonsumsi berita dari jaringan televisi publik atau surat kabar berkualitas, yang umumnya mengadopsi pandangan yang lebih positif tentang imigrasi, tidak menunjukkan hubungan dengan RWA.

Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa konsumsi media dapat mempengaruhi persepsi orientasi dominasi sosial (SDO). Konsumen reguler berita televisi komersial dan surat kabar populer menunjukkan tingkat SDO yang lebih tinggi. Sebaliknya, konsumsi televisi layanan publik memiliki hubungan negatif, yang mengindikasikan pandangan dunia yang lebih egaliter-efek tidak langsung dari konsumsi media terhadap ancaman yang dirasakan melalui ATMR dan SDO sejalan dengan temuan ini. Televisi komersial dan surat kabar populer meningkatkan persepsi ancaman yang terkait dengan imigrasi, sementara televisi publik dan surat kabar berkualitas mengurangi rasa ancaman ini.

Hasil penelitian ini menyoroti dampak signifikan dari pilihan media dalam membentuk perasaan otoriter dan persepsi hirarki sosial, yang menekankan perlunya pemahaman yang lebih baik mengenai peran media dalam mempengaruhi sikap masyarakat terhadap imigrasi.

Media, otoritarianisme, dan kekuatan kontak antarkelompok

Terlepas dari arah temuan kami, hubungan antara konsumsi media dan otoritarianisme kemungkinan besar tidak searah. Sebaliknya, hubungan ini bersifat timbal balik dan dinamis. Individu yang sudah memiliki kecenderungan otoriter mungkin tertarik pada jenis media tertentu yang memperkuat keyakinan mereka. Pada saat yang sama, teori kultivasi menunjukkan bahwa konsumsi media dan sikap otoriter saling terkait dalam kehidupan kita sehari-hari.

Namun, penelitian ini juga menawarkan secercah harapan. Meskipun ada hubungan yang kuat antara konsumsi media dan kecenderungan otoriter, pengalaman kontak antarkelompok yang positif dapat menjadi penyangga. Hubungan antara kecenderungan otoriter dan ancaman yang dirasakan lebih lemah di antara individu yang memiliki lebih banyak teman imigran. Hal ini menggarisbawahi pentingnya membina interaksi antara orang-orang dari kelompok sosial yang berbeda, karena hal ini dapat mengurangi perasaan keterancaman dan menangkal munculnya pemikiran otoriter.

Kontak antarkelompok untuk mendukung hubungan antarkelompok?

Di lingkungan di mana interaksi antara orang-orang dari berbagai latar belakang jarang terjadi, peran media menjadi sangat penting. Televisi dan surat kabar berfungsi sebagai jendela ke dalam kehidupan berbagai kelompok, memungkinkan kita untuk belajar tentang satu sama lain dan menghilangkan bias. Konsumsi media menumbuhkan suasana positif dan mendorong pemahaman antar masyarakat, bahkan di negara-negara yang sebagian pemimpinnya mendukung ide-ide otoriter.

Namun, ada sisi menarik dari cerita ini! Beberapa individu dengan pandangan otoriter mungkin menghindari kontak dengan kelompok lain, sebuah fenomena yang dikenal sebagai "penghindaran otoriter". Namun demikian, menghindari interaksi dengan kelompok yang berbeda akan menjadi lebih sulit seiring dengan semakin beragamnya masyarakat kita. Keragaman yang semakin berkembang ini dapat menormalisasi dan bahkan mendorong terjadinya kontak antarkelompok dari para otoriter.

Karena individu dengan kecenderungan otoriter sangat mementingkan kepatuhan terhadap norma-norma sosial, mereka mungkin akan menjadi lebih terdorong untuk lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang yang beragam. Dengan memanfaatkan kekuatan media dan menciptakan peluang untuk kontak antarkelompok yang bermakna, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui representasi media, kita dapat membuka jalan menuju masyarakat yang lebih inklusif, berempati, dan bersatu.

πŸ”¬πŸ§«πŸ§ͺπŸ”πŸ€“πŸ‘©β€πŸ”¬πŸ¦ πŸ”­πŸ“š

Referensi jurnal

De Coninck, D., Van Assche, J., & d’Haenens, L. (2022). Right-wing authoritarianism and social dominance orientation as mediators between news media consumption and perceived migrant threat. Mass Communication and Society, 1-24. https://doi.org/10.1080/15205436.2022.2144746

David De Coninck adalah peneliti pascadoktoral dan profesor tamu di Pusat Penelitian Sosiologi dan Institut Studi Media di KU Leuven (Belgia), serta di Institut Penelitian Pedagogi, Pendidikan, dan Sosialisasi di LMU Munich (Jerman). Ia memperoleh gelar Doktor Ilmu Sosial dari KU Leuven pada tahun 2021. Minat penelitiannya meliputi hubungan antarkelompok, persepsi kelayakan migran, dan efek media. Saat ini, beliau menjabat sebagai Asisten Editor di International Journal of Intercultural Relations.

Jasper Van Assche adalah seorang peneliti pascadoktoral di Departemen Psikologi Perkembangan, Kepribadian, dan Sosial di Universitas Ghent (Belgia), dan seorang dosen di Pusat Psikologi Sosial dan Budaya (CESCUP) di Universitas Libre de Bruxelles (Belgia). Ia menyelesaikan disertasi doktoralnya pada tahun 2018. Penelitiannya mendalami peran keragaman dalam masyarakat, sikap politik, hubungan antarkelompok, dan prasangka. Saat ini, beliau menjabat sebagai Pemimpin Redaksi di Journal of Social Psychology Research dan menjabat sebagai Associate Editor untuk Journal of Social and Political Psychology.

Leen d'Haenens adalah seorang Profesor Ilmu Komunikasi di Institut Studi Media Fakultas Ilmu Sosial di KU Leuven. Minat penelitiannya meliputi kaum muda dan penggunaan media (sosial), dengan fokus khusus pada kaum muda yang rentan. Ia menggunakan perpaduan metode kuantitatif dan kualitatif, melakukan perbandingan multi-situs, dan baru-baru ini mengintegrasikan 'data kecil' dengan metodologi 'data besar'. Dia menduduki posisi co-editor untuk Communications (De Gruyter) dan menjadi associate editor untuk The International Communication Gazette (Sage). Selain itu, beliau juga merupakan anggota Euromedia Research Group.