//

Urgensi pemulihan ekonomi ramah lingkungan dari pandemi

Jika dunia belajar sesuatu dari pandemi ini, maka alam harus dilindungi dan keberlanjutan sangatlah penting. Inilah saatnya bagi dunia bisnis untuk memimpin.

262 terbaca

Sejak COVID-19 menyerang masyarakat di seluruh dunia, seluruh populasi berhenti sejenak untuk menata kembali kehidupan mereka. Perbatasan yang tertutup, kehidupan yang terbatas, pola konsumsi yang berubah, dan yang terpenting, virus yang mematikan dan menular, membuat banyak orang takut untuk menerapkan kebiasaan yang lebih sehat, meskipun untuk sementara. Hal ini termasuk makan lebih sehat, menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah, berolahraga lebih banyak dan tidur lebih nyenyak. Perbatasan internasional ditutup dan perjalanan sangat dibatasi, yang mengakibatkan penurunan besar pada permintaan energi global. Seiring dengan semakin parahnya pandemi, orang-orang mulai memperhatikan keberlanjutan lingkungan yang sebelumnya sering mereka abaikan karena terburu-buru untuk memenuhi kebutuhan. John Replogle, mantan CEO Seventh Generation, sebuah perusahaan produk konsumen terkemuka, pernah berkata, "Anda tidak bisa hidup sehat di planet yang sakit."

Anda tidak dapat menjalani kehidupan yang sehat di planet yang sakit.

JOHN REPLOGLE, MANTAN CEO DARI SEVENTH GENERATION

Dan perubahan memang terjadi, bahkan untuk sementara. Sebagai contoh, penutupan perbatasan internasional (dan juga domestik) yang disebabkan oleh pandemi dan karantina wilayah yang meluas secara signifikan mengurangi permintaan energi di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan penurunan emisi karbon global harian sebesar 17% pada awal April 2020. Namun, dua bulan kemudian, pada bulan Juni 2020, dengan situasi yang masih jauh dari normal, emisi karbon global hanya 5% lebih rendah daripada periode yang sama di tahun 2019. Dengan demikian, penurunan emisi karbon hanyalah penundaan dari peningkatan gas rumah kaca yang tak kunjung berhenti.

Bahkan ketika masyarakat secara bertahap melanjutkan gaya hidup seperti sebelum pandemi, dunia korporat justru kurang memperhatikan keberlanjutan dan lingkungan. Dihadapkan dengan pandemi yang menyebar secara agresif, banyak bisnis yang kesulitan mendorong perlindungan lingkungan ke arah yang lebih baik, dengan dorongan oleh beberapa pemerintah yang menurunkan standar untuk menjadi ramah lingkungan.

Namun, perusahaan tidak perlu mengorbankan tujuan perlindungan lingkungan mereka demi pemulihan akibat pandemi. Faktanya, pemulihan ekonomi hijau atau ramah lingkungan dengan pembangunan keberlanjutan ke dalam strategi untuk keluar dari dampak pandemi akan menghasilkan situasi yang saling menguntungkan bagi ekonomi, iklim, dan kesehatan masyarakat.

Rencana makro untuk pemulihan pandemi terdiri dari dua fase, fase "penyelamatan" dan fase "pemulihan". Fase penyelamatan, yang terjadi ketika pandemi meningkat, berfokus pada kelangsungan hidup masyarakat, membuat mereka tetap bekerja dan membantu bisnis untuk tetap bertahan.

Ketika dunia bergerak menuju fase "pemulihan", bisnis perlu memahami bahwa menjadi ramah lingkungan akan membantu proses optimalisasi efisiensi operasional. Dengan demikian, fase pemulihan adalah fase di mana bisnis dapat memilih untuk menjadi "ramah lingkungan." Bisnis ramah lingkungan pada dasarnya menggunakan sumber daya energi terbarukan, meningkatkan kemampuan daur ulang material, dan mengurangi penyebaran toksisitas terhadap lingkungan.

Namun, seperti yang ditemukan dalam studi terbaru untuk inisiatif Keuangan untuk Keanekaragaman Hayati, hanya Inggris, Jerman, Prancis, dan Uni Eropa sebagai sebuah entitas, dari 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia, yang berfokus pada pemulihan ekonomi ramah lingkungan terkait pandemi yang mana mampu memberikan manfaat bagi iklim dan lingkungan.

khususnya di Inggris, setelah menjadi tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP26 tahun 2021 di Glasgow, sangat ingin mematuhi Pakta Iklim Glasgow yang diadopsi oleh berbagai negara, untuk mengubah tahun 2020-an menjadi satu dekade aksi dan dukungan terhadap iklim. Pemerintah Inggris menyusun Rencana Sepuluh Poin yang ambisius untuk Revolusi Industri Hijau atau ramah lingkungan, dengan tujuan untuk menjadi pemimpin global dalam teknologi ramah lingkungan. Perdana Menteri Boris Johnson mengatakan, rencana tersebut "akan memobilisasi investasi pemerintah sebesar 12 miliar poundsterling, dan berpotensi 3 kali lipat dari sektor swasta, untuk menciptakan dan mendukung hingga 250.000 lapangan kerja ramah lingkungan." Rencana tersebut akan berfokus pada industri kendaraan listrik, wanatani, dan penanaman 30.000 hektar pohon setiap tahunnya pada tahun 2025.

Sementara itu, dalam agenda politik Uni Eropa, hidrogen dipandang sebagai elemen penting dalam mencapai netralitas iklim. Komisi Eropa menargetkan peningkatan enam kali lipat dalam produksi hidrogen dari sumber terbarukan pada tahun 2024. Sejalan dengan hal ini, Polandia, dengan memanfaatkan dana penyelamatan ekonomi Uni Eropa, berencana menginvestasikan 960 juta dolar AS untuk memproduksi dan mendistribusikan hidrogen, sehingga mempercepat peralihan ke energi bersih.

Selain itu, dengan kemajuan teknologi energi terbarukan, biaya listrik terbarukan telah menurun drastis dalam dua tahun terakhir. Laporan terbaru dari Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) menyatakan bahwa pada tahun 2020, biaya tenaga surya terkonsentrasi (CSP) turun sebesar 16%, tenaga kincir angin sebesar 9% dan tenaga surya sebesar 7%. Di tingkat operasional, energi terbarukan semakin murah dibandingkan batu bara. Situasi ini menjadi alasan bisnis yang kuat bagi perusahaan-perusahaan di negara maju dan berkembang untuk beralih ke energi bersih. Direktur Jenderal IRENA, Francesco La Camera, mengatakan, "Energi terbarukan memberikan negara-negara yang terikat dengan batu bara sebuah agenda penghapusan penggunaan batu bara yang menarik secara ekonomi dan memastikan bahwa mereka dapat memenuhi permintaan energi yang terus meningkat, sekaligus menghemat biaya, menambah lapangan pekerjaan, meningkatkan pertumbuhan dan memenuhi ambisi iklim."

Energi terbarukan memberikan negara-negara yang terikat pada batu bara dengan agenda penghapusan batu bara yang menarik secara ekonomi yang memastikan mereka memenuhi permintaan energi yang terus meningkat, sekaligus menghemat biaya, menambah lapangan kerja, mendorong pertumbuhan dan memenuhi ambisi iklim.

FRANCESCO LA CAMERA, DIREKTUR JENDERAL BADAN ENERGI TERBARUKAN INTERNASIONAL (IRENA)

Menggunakan teknologi ramah lingkungan dalam bisnis dapat menghasilkan keunggulan kompetitif, karena Generasi Milenial dan Gen Z semakin mencari produk yang berkelanjutan, dan sering kali mengharapkan tanggung jawab sosial dari pemasok dan peritel untuk menggunakan praktik-praktik ramah lingkungan dan keberlanjutan.

Menurut survei online global Nielsen baru-baru ini, 66% responden mengatakan bahwa mereka akan selalu membeli produk dan layanan yang ramah lingkungan dan mendukung bisnis semacam itu, serta bersedia membayar lebih mahal untuk produk ramah lingkungan. Para responden juga mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian mereka meliputi: mengetahui bahwa produk diproduksi dari bahan-bahan alami, segar, dan organik; menjadi merek ramah lingkungan yang diakui atau bersertifikasi; menggunakan kemasan yang ramah lingkungan, dan; iklan yang mempromosikan manfaat lingkungan dan sosial dari merek tersebut.

Pajak adalah pertimbangan penting lainnya. Ada keringanan pajak, potongan harga, dan insentif keuangan lainnya yang ditawarkan pemerintah federal dan negara bagian kepada bisnis yang ramah lingkungan. Beberapa insentif ini termasuk potongan bisnis untuk memasang tata udara/HVAC hemat energi, sistem pencahayaan dan air panas, kredit pajak dan hibah untuk menggunakan energi alternatif, kredit pajak untuk kendaraan energi bersih yang memenuhi standar hemat bahan bakar, dan bonus penyusutan untuk daur ulang yang memenuhi syarat dan penggunaan kembali mesin dan peralatan tertentu.

Ketika bisnis mulai pulih dari pandemi, dan mulai mengarah ke arah hijau atau ramah lingkungan, sangatlah tepat untuk mengingat pepatah aborigin, "Jagalah tanah, dan tanah akan menjagamu. Rusaklah tanah, maka tanah akan menghancurkanmu."